Minggu, 22 Maret 2009

Memilih Pemimpin Yang Kuat Dan Dipercaya

Oleh
FAISAL*

Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin adalah orang yang diberi amanah oleh Allah SWT. Untuk memimpin rakyat dan diakhirat kelak akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah SWT. Dengan demikian, meskipun seorang pemimpin dapat meloloskan diri dari tuntutan rakyatnya karena ketidak adilannya. Tetapi seorang pemimpin tidak akan mampu meloloskan diri dari tuntutan Allah SWT kelak diakhirat.

Oleh karena itu, seorang pemimpin hendaknya jangan mengganggap dirinya sebagai manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja kepada masyarakat. Akan tetapi sebaliknya, seorang pemimpin harus barusaha memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran yang berbunyi:
“Rendahkanlah sikapmu terhadap pengikutmu dari kaum mukminin” (Q.S.Syu’ara:215).

Hal itu menunjukkan bahwa Allah SWT sangat perduli terhadap hambanya agar terjaga dari kezaliman para pemimpin yang kejam dan tidak bertanggung jawab. Pemerintah yang kejam dikategorikan sebagai sejahat-jahatnya pemerintahan. Sebagaimana sabda Nabi SAW yang berbunyi:
“Sesungguhnya sejahat-jahat pemerintahan yaitu yang kejam, maka janganlah kau tergolong dari mereka”(H.R.Bukhari dan Muslim).

Maka agar kaum muslimin terhindar dari pemimpin yang zalim, berhati-hatilah dalam memilih pemimpin. Pemilihan pemimpin harus betul-betul didasarkan pada kualitas, integritas, loyalitas dan yang paling penting adalah perilaku keagamaannya. Jangan memilih pemimpin karena didasarkan rasa emosional, baik karena ras, suku bangsa ataupun keturunan. Sebab jika mereka tidak dapat memimpin, rakyatlah yang akan merasakan kerugiannya.

Didalam Al-Quran ditemukan sedikitnya dua pokok sifat yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Kedua hal tersebut harus diperhatikan dalam menentukan seorang pemimipin. Salah satu ayat yang menerangkan tentang hal itu adalah ayat yang berbunyi :
“Sesungguhnya orang yang paling baik engkau tugaskan adalah yang kuat lagi dipercaya”(Q.S.Al-Qashasa:26).

Pemimpin yang memiliki dua sifat tersebut, tidak akan berbuat atau melakukan kezaliman. Tetapi akan selalu berbuat dan bertindak sesuai dengan aspirasi rakyat. Oleh karena itu, agar kaum muslimin memiliki pemimpin yang adil, yang mampu memelihara dan menjaga rakyatnya, maka pemimpin yang dipilih adalah mereka yang betul-betul dapat dipercaya dan kuat dalam kepemimpinannya.

*Penulis adalah Mahasiswa Program S1 Filsafat Politik Islam
Fakultas Ushuluddin IAIN-SU

Jumat, 20 Maret 2009

ASAL-USUL PARTAI POLITIK

oleh
FAISAL*
Menurut lapalombara dan weiner (1996), Ada tiga teori yang mencoba menjelaskan asal-usul partai politik yaitu: pertama, teori kelembagaan yang melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik। Kedua, teori historik yang melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. Ketiga, teori pembangunan yang melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi.
Teori yang pertama mengatakan partai politik dibentuk oleh kalangan legislatif karena ada kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan) untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan dengan masyarakat। Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsinya, kemudian muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai politik yang terakhir ini biasanya di bentuk oleh kelompok kecil pemimpin masyarakat yang sdar politik berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka. Hal ini tidak hanya dapat ditemui dalam wilayah atau bangsa yang tengah dijajah dan membentuk partai politik sebagi alat memobilisasi massa untuk memperjuangkan kemerdekaan, tetapi juga dapat ditemui dalam masyarakat atau negara maju dalam mana kelompok masyarakat yang kepentingannya kurang terwakili dalam sistem kepartaian yang telah ada.
Teori kedua menjelaskan krisis situasi historis terjadi manakala suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat modren yang berstruktur kompleks। Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan, seperti pertambahan penduduk karena perbaikan pasilitas kesehatan, perluasan pendidikan, perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, urbanisasi, ekonomi berorientasi pasar, peningkatan aspirasi dan harapan-harapan baru serta munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahan-perubahan itu menimbulkan tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi dan partisipasi. Artinya, perubahan-perubahan mengakibatkan masyarakat mempertanyakan prinsip-prinsip yang mendasari legitimasi kewenangan pihak yang memerintah; menimbulkan masalah dalam identitas yang menyatukan masyarakat dalam suatu bangsa; dan mengakibatkan timbulnya tuntutan yang semakin besar untuk ikut serta dalamproses politik.
Teori ketiga melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti pembangunan teknologi komunikasi berupa media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, urbanisasi, perluasan kekuasaan negara seperti birokratisasi, pembentukan berbagai kelompok kepentingan dan organisasi profesi, peningkatan kemampuan individu yang mempengaruhi kingkungan, melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut। Jadi, partai politik merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonomi.
*Penulis adalah mahasiswa program S1 jurusan Filsafat Politik Islam
Fakultas Ushuluddin IAIN-SU Medan