Rabu, 29 April 2009

ISLAM FUNDAMENTALIS SEBAGAI FENOMENA POLITIK


Oleh

Faisal*


Munculnya garakan Islam fundamentalis merupakan suatu gejala riil dari pada apa yang disebut sebagai kebangkitan Islam dan Islam muncul kembali sebagai kekuatan politik global. Revitalisasi Islam didukung oleh sejumlah peristiwa-peristiwa dan perubahan-perubahan yang mempengaruhi Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Gerakan Islam fundamentalis berusaha merefleksikan suatu pandangan hidup salafisme yang berorientasi pada dua sumber utama Islam yaitu Al-Quaran dan Hadis. Karena bagi mereka Islam adalah totalitas kehidupan. Dalam konteks ini Islam fundamentalis berkeyakinan bahwa agama dan politik sebagai suatu kondisi, suatu fakta ideal yang tidak dapat dipisahkan. Secara umum kaum fundamentalis Islam menganut ideologi apa yang disebut sebagai totalitas Islam. Karena agama Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek politik, maka pandangan yang mereka bangun adalah pandangan yang ingin menghadirkan sebuah Negara dan penegakan syariat Islam.

Fakta dan garis ideologi yang memang telah menjadi landasan perjuangan Islam fundamentalis yakni implementasi hukum Islam dalam tataran politik Negara tampak mencuat kepermukaan dan tampil dalam wajah dan strategi yang berbeda. Kondisi sosial dan sistem Negara juga menunjukkan dorongan kuat bagi upaya menggerakkan emosi spiritual gerakan Islam fundamentalis.

Dikalangan Islam fundamentalis berkeyakinan bahwa Islam harus menjadi suatu kerangka teoritis yang dapat dijadikan solusi bagi setiap problem ummat. Kemampuan Islam sebagai landasan pembentukan dan perbaikan kehidupan ummat bagi Islam fundamentalis adalah suatu kemutlakan universal, alasannya yaitu: Pertama, Islam adalah sistem komprehensif yang mampu berkembang sendiri dan merupakan jalan mutlak kehidupan seluruh aspeknya. Kedua, Islam memancar dari dua sumber yang fundamental yakni Al-Quran dan Hadis. Ketiga, islam berlaku untuk segala waktu dan tempat.

Dengan demikian Islam adalah Ideologi sempurna bagi Islam fundamentalis. Kerangka Islam adalah suatu refleksi dari pandangan teoritis Al-Quran dan Hadis yang dapat diterjemahkan dalam kehidupan ummat yang termasuk kedalam kehidupan politik dan bernegara. Hal ini memperkuat posisi idealisme kaum fundamentalisme Islam dalam membangun social kehidupan yang berlandaskan pada supermasi syariat, karena aplikasi syariat akan dapat merubah kehidupan dan menjadi perwujudan sempurna dari kehendak Tuhan.

Fenomena revitalisasi Islam yang ditandai dengan berbagai kegiatan yang menyertakan symbol-simbol Islam yang tidak saja dalam lapangan spritualitas, tetapi hampr juga pada setiap ranah kehidupan termasuk di dalam kehidupan politik dan ini menjadi tampak jelas ketika sejumlah gerakan Islam tumbuh dan berkembang sebagai kekuatan politik di berbagai Negara seperti: jamaat Islam di Pakistan, Ikhwanul Muslimin di Mesir, revolusi Islam Iran di Iran, Front Penyelamat Islam di Aljazira dan gerakan-gerakan Islam yang lain seperti Partai Keadilan Sejahtera di Indonesia.


*penulis adalah mahasiswa Filsafat Politik Islam

Fakultas Ushuluddin IAIN-SU

Jumat, 24 April 2009

ISLAM DAN DEMOKRASI


Oleh
FAISAL*

Dalam konteks keIslaman, demokrasi merupakan masalah yamg kontroversial. Sebagian pengamat melihat bahwa Islam sejalan dengan demokrasi, sebaliknya ada yang berpendapat bahwa Islam tidak sejalan dengan demokrasi.

Jhon L Esposito membagi pemikiran pemikiran para teoritis Islam tentang konsep demokrasi kedalam tiga ketegori. Pertama, yang menolak demokrasi seperti Sayyid Qutbh dan Thabathabai. Kedua, yang menerima demokrasi tetapi mengakui adanya perbedaan seperti Al-Maududi dengan theo-Demoktasinya. Ketiga, yang menerima demokrasi sepenuhnya seperti Fahmi Huwaidi.

Menurut Jhon bahwa alasan penolakan kelompok pertama dan kedua bukanlah penolakan secara esensial pada eksistensi demokrasi secara keseluruhan, akan tetapi melainkan lebih sebagai penolakan terhadap barat (western) ketidak adilan dan sekulernya.
Bagi kelompok ketiga yang mendukung bahwa ajaran dan perinsip dalam Islam sangat sesuai dengan demokrasi mendasarkan pengamatannya kepada sebagian prinsip Islam yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, seperti prinsip-prinsip: Keadilan (adl), Musyawarah dan Mufakat (syura), Persamaan (musawah), Percaya (amanah) dan Kebebasan (hurriyah). Bagi kelompok pendukung ini melihat hubungan antara Islam dan demokrasi tidak terbatas hanya pada prinsip yang konteks saja (seperti ayat-ayat Musawarah dan Keadilan) tetapi juga dalam bentuk tamsilan.

Argumentasi lain yang dijadikan bukti adalah adanya nilai etika yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW melalui piagam Madinah, yang dengannya terbangun hubungan kerjasama dan politik yang baik antara masyarakat Madinah dengan masyarakat Makkah.

*Penulis adalah Mahasiswa Filsafat Politik Islam, Fakultas Ushuluddin, IAIN-SU.

Kamis, 16 April 2009

SISTEM PEMILU DALAM DEMOKRASI

Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani yakni damos yang berarti rakyat atau penduduk setempat, dan cratien atau kartos yang berarti pemerintahan. Jadi, secara etimologi (bahasa) demokrasi adalah pemerintahan rakyat banyak. Dalam pengertian terminologi (istilah) demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Didalam demokrasi terdapat sebuah sistem pemilu. Sistem pemilu merupakan sarana rakyat untuk menyeleksi wakil-wakil mereka sebagai pengambil keputusan. Suara-suara rakyat dalam pemilu diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Sistem pemilu bertindak sebagai saluran yang melaluinya seluruh warga Negara dapat menuntut pertanggung jawaban dari para wakil terpilih mereka. Selain itu, sistem pemilu membantu menetapkan batasan wacana politik yang dapat diterima dengan memeberikan dorongan kepada para pemimpin partai untuk menyampaikan himbauan mereka pada para pemilih dengan cara-cara yang berbeda. Sehubungan dengan semua itu, pilihan alternative sistem pemilu haruslah membuka peluang yang lebih besar bagi tercapainya demokrasi terkonsolidasi.

Secara teoritis ada empat macam system pemilihan umum yaitu sistem pluralitas dan sistem mayoritas (keduanya sering disebut dengan system distrik), sistem perwakilan berimbang dan sistem semi proporsional atau campuran. Semua sistem pemilu tersebut dapat muncul dengan variannya masing-masing.
Sistem atau kombinasi sistem pemilihan palinga cocok bagi suatu Negara ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menyesuaikan diri dengan konteks social budaya; basis identitas kelompok, tingkat permusuhan, sifat konflik, jumlah dan ukuran relatif kelompok-kelompok, dan distribusi ruang dari kelompok-kelompok dalam kaitannya dengan konteks institusi politik (tipe eksekutif, tipe legislatif, dan sifat atau bentuk konstitusional Negara).

Berdasarkan pengalaman dari Negara-negara demokrasi, ada beberapa tujuan yang muncul dalam proses perancangan sistem pemilu yaitu:
1. Keinginan akan pemerintahan yang stabil, efisien dan tahan lama. Untuk tujuan ini diperlukan kondisi adanya kepercayaan rakyat bahwa sistem yang dianut relatif adil; pemerintah mampu memerintah dan sistem tidak bersifat diskriminatif.
2. Membuat perumus undang-undang, mentri dan partai politik yang memerintah bertanggung jawab kepada pemilih mereka sampai tahap yang setingi-tingginya (tidak sekedar penyelenggaraan pemilu nasional secara regular, tetapi juga perbertanggung jawaban geografis dan kebebasan memilih bagi para pemilih).
3. Mendorong partai politik dan pemilih agar mengambil sikap berdamai dengan lawan mereka. Sistem pemilu menjadi sarana untuk menangani konflik politik, menghindari partai-partai yang bersifat eksklusif dan memecah belah serta mendorong agar labih bersatu dan inklusif.
4. Memberikan kemudahan pada oposisi loyal dalam politik demokrasi. Jika sistem pemilu itu sendiri membuat partai-partai oposisi impoten, pemerintah secara inheren dilemahkan.
5. Menjamin agar pemilihan dapat dapat dijalankan dan dikendalikan.

Kamis, 02 April 2009

POLA HUBUNGAN PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI

Oleh
FAISAL*

Otonomi daerah merupakan isu menarik bila kita amati perkembangannya khususnya di Indonesia, karena semenjak para pendiri Negara menyusun format Negara maka isu menyangkut pemerintahan daerah telah di akomodasikan dalam pasal 18 UUD 1945. Namun system atau pola hubungan pemerintahan pusat dan daerah banyak mengalami ketimpangan-ketimpangan antara pusat dan daerah yang sebenarnya sudah terjadi pada era kepemimpinan orde lama. Dalam masa itu pusat lebih diutamakan dari pada daerah, sehingga menimbulkan rasa kecewa daerah-daerah dan terjadinya pemberontakan seperti di Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.

Kemudian pada masa orde baru juga berbuat hal demikian, bahkan melangkah lebih jauh. Dengan bekal perangkat UU No.5 tahun 1974tentang pokok-pokok peraturan daerah, orde baru mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan pusat. UU ini banyak memiliki kelemahan dan sifatnya sentralistik, karena pusat menentukan “hitam putihnya” daerah. Semuanya diatur serba seragam tanpa memabndang kekhasan suatu daerah. Lebih dari itu, kelemehan yang paling mendasar adalah tidak adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penguasa daerah layaknya debet collector hanya menyetor “upeti” hasil kekayaan alam daerah mereka dan tidak mendapatkan imbalan yang pantas untuk pembangunan daerah.

Ketidak adilan ini kembali memicu protes dari berbagai daerah. Seiring dengan kejatuhan orde baru dan bergulirnya reformasi, daerah-daerah mulai bersuara nyaring menuntut hak mereka. Bahkan ada yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengantisifasi ini pemerintah mengeluarkan UU No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No.25 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. UU ini efektif berlaku mulai 1 Januari 2001. kedua UU ini sejatinya dapat menghapuskan sentralisasi pusat dan memacu percepatan pembangunan daerah.
Namuhn pelaksanaannya sampai sekarang ini masih ada kelemahan-kelemahan dilapangan. Diantaranya adalah luasnya grey area tentang pembagian kewenangan pusat-propinsi-kabupaten atau kota. Ini membuat tidak sesuainya sumber biaya daerah dan biaya riil yang harus dikeluarkan daerah. Akhirnya, pemerintah daerah masih tetap bergantung pada “belas kasihan” pemeritah pusat. Selanjutnya, karena pusat masih berpengaruh dalam perimbangan keuangan ini maka timbul kecemburuan daerah-daerah tertentu. Dana Alokasi Umum (DAU) dari APBN dibarikan lebih besar untuk daerah-daerah yang kaya, sehingga terjadi ketimpangan antara daerah. Selain itu, mekanisme penetapan distribusi DAU juga kurang memperhatikan kondisi objektif daerah.

Disamping kelemahan-kelemahan tersebut, ada juga kendala-kendala yang berasal dari Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia sendiri. Semangat euforia reformasi telah memicu lahirnya raja-raja kecil didaerah. Mereka meminta pemekaran wilayah, supaya bisa menjadi penguasa. Belum lagi rendahnya kinerja dan kredibilitas pemerintah pusat, karena tidak tanggap terhadap persoalan yang terjadi serta supermasi hukum yang tidak tegak. Semua ini merupakan factor penghambat terlaksananya otonomi daerah dengan baik.

Kalau ditarik sumbernya, semua berakar dari kelemahan SDM dalam melaksanakan UU tersebut. Harus diakui atau tidak bahwa SDM Indonesia, baik mental maupun tingkat pendidikannya masih belum sesuai harapan dan sebagian masih memiliki mentalitas orde baru. Pradigma pendidikan pada masa orde baru yang lebih mengutamakan pencerdasan intelektual dan cendrung mengabaikan pencerdasan spiritual yang membuat lemahnya etika dan moral SDM Indonesia. Memang ada pendidikan moral dan agama dalam kurikulum pendidikan Nasional, namun itu hanya sekedar komplemen dan bukan hal yamg utama. Oleh karena itu, kita perlu menekankan pentingnya mengintegrasi aspek intelaktual dan spiritual dalam pendidikan Nasional. Oleh karena itu hanya dengan basis moral dan agama serta kesadaran, maka pembangunan dalam perspektif otonomi daerah dapat direalisasikan atau diterapkan sesuai dengan tuntutan yang ada dalam UU.

*Penulis adalah Mahasiswa Program S1 Filsafat Politik Islam
Fakultas Usuhluddin IAIN - SU