Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani yakni damos yang berarti rakyat atau penduduk setempat, dan cratien atau kartos yang berarti pemerintahan. Jadi, secara etimologi (bahasa) demokrasi adalah pemerintahan rakyat banyak. Dalam pengertian terminologi (istilah) demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Didalam demokrasi terdapat sebuah sistem pemilu. Sistem pemilu merupakan sarana rakyat untuk menyeleksi wakil-wakil mereka sebagai pengambil keputusan. Suara-suara rakyat dalam pemilu diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai-partai dan para kandidat. Sistem pemilu bertindak sebagai saluran yang melaluinya seluruh warga Negara dapat menuntut pertanggung jawaban dari para wakil terpilih mereka. Selain itu, sistem pemilu membantu menetapkan batasan wacana politik yang dapat diterima dengan memeberikan dorongan kepada para pemimpin partai untuk menyampaikan himbauan mereka pada para pemilih dengan cara-cara yang berbeda. Sehubungan dengan semua itu, pilihan alternative sistem pemilu haruslah membuka peluang yang lebih besar bagi tercapainya demokrasi terkonsolidasi.
Secara teoritis ada empat macam system pemilihan umum yaitu sistem pluralitas dan sistem mayoritas (keduanya sering disebut dengan system distrik), sistem perwakilan berimbang dan sistem semi proporsional atau campuran. Semua sistem pemilu tersebut dapat muncul dengan variannya masing-masing.
Sistem atau kombinasi sistem pemilihan palinga cocok bagi suatu Negara ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menyesuaikan diri dengan konteks social budaya; basis identitas kelompok, tingkat permusuhan, sifat konflik, jumlah dan ukuran relatif kelompok-kelompok, dan distribusi ruang dari kelompok-kelompok dalam kaitannya dengan konteks institusi politik (tipe eksekutif, tipe legislatif, dan sifat atau bentuk konstitusional Negara).
Berdasarkan pengalaman dari Negara-negara demokrasi, ada beberapa tujuan yang muncul dalam proses perancangan sistem pemilu yaitu:
1. Keinginan akan pemerintahan yang stabil, efisien dan tahan lama. Untuk tujuan ini diperlukan kondisi adanya kepercayaan rakyat bahwa sistem yang dianut relatif adil; pemerintah mampu memerintah dan sistem tidak bersifat diskriminatif.
2. Membuat perumus undang-undang, mentri dan partai politik yang memerintah bertanggung jawab kepada pemilih mereka sampai tahap yang setingi-tingginya (tidak sekedar penyelenggaraan pemilu nasional secara regular, tetapi juga perbertanggung jawaban geografis dan kebebasan memilih bagi para pemilih).
3. Mendorong partai politik dan pemilih agar mengambil sikap berdamai dengan lawan mereka. Sistem pemilu menjadi sarana untuk menangani konflik politik, menghindari partai-partai yang bersifat eksklusif dan memecah belah serta mendorong agar labih bersatu dan inklusif.
4. Memberikan kemudahan pada oposisi loyal dalam politik demokrasi. Jika sistem pemilu itu sendiri membuat partai-partai oposisi impoten, pemerintah secara inheren dilemahkan.
5. Menjamin agar pemilihan dapat dapat dijalankan dan dikendalikan.
Kamis, 16 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar