Kamis, 02 April 2009

POLA HUBUNGAN PEMERINTAHAN PUSAT DAN DAERAH PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI

Oleh
FAISAL*

Otonomi daerah merupakan isu menarik bila kita amati perkembangannya khususnya di Indonesia, karena semenjak para pendiri Negara menyusun format Negara maka isu menyangkut pemerintahan daerah telah di akomodasikan dalam pasal 18 UUD 1945. Namun system atau pola hubungan pemerintahan pusat dan daerah banyak mengalami ketimpangan-ketimpangan antara pusat dan daerah yang sebenarnya sudah terjadi pada era kepemimpinan orde lama. Dalam masa itu pusat lebih diutamakan dari pada daerah, sehingga menimbulkan rasa kecewa daerah-daerah dan terjadinya pemberontakan seperti di Aceh, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.

Kemudian pada masa orde baru juga berbuat hal demikian, bahkan melangkah lebih jauh. Dengan bekal perangkat UU No.5 tahun 1974tentang pokok-pokok peraturan daerah, orde baru mengeruk kekayaan daerah untuk kepentingan pusat. UU ini banyak memiliki kelemahan dan sifatnya sentralistik, karena pusat menentukan “hitam putihnya” daerah. Semuanya diatur serba seragam tanpa memabndang kekhasan suatu daerah. Lebih dari itu, kelemehan yang paling mendasar adalah tidak adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penguasa daerah layaknya debet collector hanya menyetor “upeti” hasil kekayaan alam daerah mereka dan tidak mendapatkan imbalan yang pantas untuk pembangunan daerah.

Ketidak adilan ini kembali memicu protes dari berbagai daerah. Seiring dengan kejatuhan orde baru dan bergulirnya reformasi, daerah-daerah mulai bersuara nyaring menuntut hak mereka. Bahkan ada yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengantisifasi ini pemerintah mengeluarkan UU No.22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No.25 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. UU ini efektif berlaku mulai 1 Januari 2001. kedua UU ini sejatinya dapat menghapuskan sentralisasi pusat dan memacu percepatan pembangunan daerah.
Namuhn pelaksanaannya sampai sekarang ini masih ada kelemahan-kelemahan dilapangan. Diantaranya adalah luasnya grey area tentang pembagian kewenangan pusat-propinsi-kabupaten atau kota. Ini membuat tidak sesuainya sumber biaya daerah dan biaya riil yang harus dikeluarkan daerah. Akhirnya, pemerintah daerah masih tetap bergantung pada “belas kasihan” pemeritah pusat. Selanjutnya, karena pusat masih berpengaruh dalam perimbangan keuangan ini maka timbul kecemburuan daerah-daerah tertentu. Dana Alokasi Umum (DAU) dari APBN dibarikan lebih besar untuk daerah-daerah yang kaya, sehingga terjadi ketimpangan antara daerah. Selain itu, mekanisme penetapan distribusi DAU juga kurang memperhatikan kondisi objektif daerah.

Disamping kelemahan-kelemahan tersebut, ada juga kendala-kendala yang berasal dari Sumber Daya Manusia (SDM) bangsa Indonesia sendiri. Semangat euforia reformasi telah memicu lahirnya raja-raja kecil didaerah. Mereka meminta pemekaran wilayah, supaya bisa menjadi penguasa. Belum lagi rendahnya kinerja dan kredibilitas pemerintah pusat, karena tidak tanggap terhadap persoalan yang terjadi serta supermasi hukum yang tidak tegak. Semua ini merupakan factor penghambat terlaksananya otonomi daerah dengan baik.

Kalau ditarik sumbernya, semua berakar dari kelemahan SDM dalam melaksanakan UU tersebut. Harus diakui atau tidak bahwa SDM Indonesia, baik mental maupun tingkat pendidikannya masih belum sesuai harapan dan sebagian masih memiliki mentalitas orde baru. Pradigma pendidikan pada masa orde baru yang lebih mengutamakan pencerdasan intelektual dan cendrung mengabaikan pencerdasan spiritual yang membuat lemahnya etika dan moral SDM Indonesia. Memang ada pendidikan moral dan agama dalam kurikulum pendidikan Nasional, namun itu hanya sekedar komplemen dan bukan hal yamg utama. Oleh karena itu, kita perlu menekankan pentingnya mengintegrasi aspek intelaktual dan spiritual dalam pendidikan Nasional. Oleh karena itu hanya dengan basis moral dan agama serta kesadaran, maka pembangunan dalam perspektif otonomi daerah dapat direalisasikan atau diterapkan sesuai dengan tuntutan yang ada dalam UU.

*Penulis adalah Mahasiswa Program S1 Filsafat Politik Islam
Fakultas Usuhluddin IAIN - SU

1 komentar: